Senin, 25 Juli 2011

Desain Pesawat Masa Depan


Flying Wing = Sayap Terbang? Itu memang terjemahan bebasnya. Dan arti yang sebenarnya memang tidak terlalu jauh berbeda.  Flying Wing sebenarnya merupakan istilah untuk desain pesawat terbang yang bentuknya menyerupai dua sayap pesawat yang menyatu (blended-wing body). Desain pesawat masa depan ini tidak memiliki bagian badan utama yang disebut  fuselage dan ekor (tail) seperti pada pesawat yang kita kenal saat ini. Pesawat unik ini benar-benar hanya terdiri dari sayap saja, dan ternyata memang hanya sayap yang dibutuhkan. Bentuk  Flying Wing menyerupai  boomerang, yang pada dasarnya memang merupakan dua bilah sayap yang digabungkan menjadi satu unit. Rancangan semacam ini sebenarnya tidak asing lagi untuk desain pesawat, tetapi selama ini bentuk  blended-wing body hanya digunakan untuk pesawat tempur dengan teknologi  stealth, yaitu pesawat yang bisa ‘menghilang’ karena tidak dapat dideteksi oleh radar. Apa keistimewaan desain unik ini?

Sebenarnya alasan utama yang melandasi ide untuk mengaplikasikan desain yang biasa digunakan untuk keperluan militer ini adalah semakin melonjaknya jumlah penumpang pesawat terbang setiap harinya. Alat transportasi udara ini semakin digemari karena memungkinkan kita untuk berkeliaran di seluruh dunia dalam waktu cepat. Perhitungan yang dilakukan oleh  Federal Aviation Administration (FAA) menunjukkan bahwa lonjakan penumpang diperkirakan dapat mencapai 63% dari tahun 2000 sampai 2012. Ini berarti volume penerbangan setiap harinya mesti ditingkatkan. Industri penerbangan dunia harus cepat-cepat memutar otak supaya dapat memenuhi kebutuhan transportasi udara ini. Yang pasti, penambahan jumlah penerbangan per hari tidak banyak menyelesaikan masalah. Karena kita sendiri sering mengalami terjadinya penundaan jadwal penerbangan, bahkan  pembatalan penerbangan. Diperlukan suatu solusi lain yang dapat membantu  menyelesaikan permasalahan ini. Ini saatnya para fisikawan menyumbangkan keahliannya!
 Boeing yang dikenal sebagai penguasa industri penerbangan melakukan kerjasama dengan NASA (National Aeronautics and Space Administration) untuk mengembangkan kemungkinan aplikasi desain blended-wing body untuk pesawat komersial. Mengapa  blended-wing body? Karena dengan desain ini kapasitas pesawat bisa ditingkatkan sampai 30%. Tentu saja! Pada  flying wing hampir seluruh bagian pesawat bisa diisi oleh penumpang. Pada pesawat yang ada saat ini para penumpang hanya bisa menempati bagian badan utama pesawat (fuselage). Bagian sayap sama sekali tidak bisa ditempati. Desain  flying wing hanya terdiri dari satu unit (hanya merupakan sayap) sehingga hampir semuanya bisa ditempati. Dengan demikian, satu penerbangan saja bisa mengangkut sampai 800 penumpang sekaligus (bandingkan  dengan Boeing 747-400 yang kapasitas maksimumnya hanya 660 penumpang). Dengan lebar sayap yang mencapai 289 ft (Boeing 747-400 hanya mencapai 211 ft)  flying wing memiliki ruangan yang sangat luas untuk ditempati penumpang (memiliki dua tingkat atau double-deck) walaupun panjangnya hanya mencapai 160,8 ft (panjang pesawat Boeing 747-400 mencapai 232 ft) dan tingginya hanya 40,9  ft (tinggi pesawat Boeing 747-400 mencapai 63 ft). Kita dapat melihat perbandingan ukuran Flying Wing Jumbo Jet dengan pesawat Boeing 747-400 pada Gambar 3.

Bentuk pesawat yang hanya terdiri dari satu unit ini memiliki beberapa keunggulan lain selain kapasitas penumpang. Pesawat biasa perlu memperhitungkan berbagai bentuk permukaan (permukaan  fuselage, permukaan sayap, dan permukaan ekor pesawat) yang  sangat mempengaruhi besarnya gaya angkat (lift) ke atas yang harus dihasilkan mesin pesawat. Flying wing hanya perlu memperhitungkan satu jenis permukaan (karena hanya terdiri dari satu unit saja) sehingga  lift dapat dihasilkan oleh mesin dengan lebih mudah dan sederhana. Apalagi kita tahu bahwa bagian pesawat yang paling banyak memberi kontribusi dalam menghasilkan lift adalah bagian sayap. Jika seluruh pesawat berupa sayap, berarti besarnya lift yang bisa dihasilkan dapat ditingkatkan juga. 
Supaya pantas menyandang istilah pesawat masa depan,  flying wing akan diproduksi menggunakan bahan-bahan komposit canggih yang direkayasa secara khusus. Bahan-bahan komposit ini dirancang supaya memiliki berat yang sangat ringan (lightweight design) sehingga flying wing dapat menggunakan bahan bakar secara lebih efisien (kebutuhan bahan bakar Boeing 747 sekitar 25% lebih banyak dari flying wing jumbo jet ini). Fungsi empat mesin turbofan pada Boeing 747-400 digantikan oleh tiga mesin jet khusus yang memiliki rasio  bypass yang tinggi (high-bypass-ratio engines). 
Ada beberapa yang masih menjadi sumber perhatian para peneliti. Dengan ukuran sayap pesawat yang jauh lebih tebal dari sayap pesawat biasa, flying wing harus mengatasi masalah hambatan udara (drag) yang lebih besar pula. Besarnya hambatan udara sangat dipengaruhi oleh kecepatan pesawat (semakin tinggi kecepatan pesawat, semakin besar pula  drag yang harus diatasi) dan luas permukaan yang tegak lurus arah gerakan  fluida (berarti ketebalannya). Sayap pesawat biasa yang sangat tipis menghasilkan  drag yang jauh lebih kecil dari flying wing saat meluncur di udara pada kecepatan sama. Dengan semakin besarnya hambatan udara,  flying wing harus memiliki mesin yang mampu menghasilkan gaya dorong (thrust) yang lebih besar dan  stabil supaya bisa mengatasi hambatan udara tersebut. Penyempurnaan desain mesin inilah yang sedang gencar dilakukan para peneliti di industri penerbangan dunia.
  Masalah lainnya berkaitan dengan ukuran kabin pesawat yang jauh lebih besar dibanding pesawat biasa. Pada pesawat yang ada saat ini,  cabin pressurization dapat dilakukan dengan mudah.  Cabin pressurization atau penambahan tekanan dalam kabin merupakan masalah yang sangat penting karena pada posisi yang semakin tinggi dari permukaan laut, tekanan udara semakin berkurang. Pesawat biasanya terbang pada ketinggian 30.000 ft dari permukaan laut. Pada ketinggian ini tekanan udara mencapai 4,3 psi. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan tekanan udara di permukaan laut (14,7 psi) yang merupakan kondisi yang dianggap normal oleh tubuh manusia. Supaya tubuh manusia dapat bertahan pada ketinggian tersebut, tekanan pada kabin pesawat harus ditambah (sampai mendekati tekanan udara yang normal bagi tubuh manusia, yaitu 14,7 psi). Hal ini dilakukan dengan cara memompakan udara bertekanan tinggi ke dalam kabin pesawat. Prinsipnya sama persis dengan pemompaan ban mobil untuk menambah tekanannya. Semakin besar luas kabin semakin besar pula volume udara tekanan tinggi yang harus dipompakan. Pada pesawat biasa udara dikompresi oleh mesin jet pesawat sehingga didapatkan udara bertekanan tinggi. Untuk kabin flying wing yang sangat luas sistem penambahan tekanan yang biasa digunakan pada pesawat biasa tidak bisa  diaplikasikan secara efektif. Berbagai penelitian dilakukan untuk merancang sistem baru untuk proses penambahan tekanan kabin yang luas ini.
Para peneliti memperkirakan semua rancangan  flying wing jumbo jet ini akan siap dalam waktu beberapa tahun saja. Tidak lama lagi kita akan bisa melihat dan menikmati penerbangan yang menggunakan pesawat-pesawat yang mirip pesawat tempur  B-2 Bomber ini. Tentu saja ukuran  flying wing yang akan digunakan sebagai pesawat komersial ini jauh lebih besar dari pesawat tempur B-2 Bomber yang pintar menghindari deteksi radar itu. (teknologi)

Disengat Panas


Masih ingat film fiksi ilmiah Star Trek yang sangat populer itu? Banyak adegan film itu yang memamerkan teknologi canggih yang membuat kita iri. Kebanyakan teknologi yang ditampilkan dalam film itu merupakan hasil fantasi sang pembuat film. Tetapi imaginasi  hebatnya itu ternyata sudah banyak menggoda para ilmuwan untuk merealisasikan teknologi fiksi itu menjadi teknologi yang benar-benar bisa dikembangkan di dunia nyata. Salah satu contohnya adalah penelitian mengenai teleportasi yang semakin heboh perkembangannya. Teknologi holodeck juga sudah mulai berhasil dikembangkan di dunia nyata ini sehingga kita semakin sulit membedakan dunia nyata dengan dunia maya. Dari sekian banyak teknologi  Star Trek yang begitu menarik, ada satu teknologi canggihnya yang masih menggelitik para ilmuwan kita. Bahkan bukan saja ilmuwan dan peneliti yang tergoda untuk mengembangkannya, dunia militer pun ikut-ikutan jatuh hati pada  teknologi yang satu ini. Teknologi yang mana? Phaser! Masih ingat apa itu Phaser?
Kru pesawat Enterprise dalam film Star Trek selalu membawa pengamanan diri saat turun ke permukaan sebuah planet tak dikenal. Sebentuk senjata yang mungil tampak seperti remote control kecil itu dapat disetel untuk memancarkan sinar yang bisa diatur intensitasnya. Jika hanya untuk mempertahankan diri, sinarnya disetel pada intensitas yang hanya bisa menyengat korban sehingga pingsan selama beberapa waktu dan tidak bisa melawan lagi (hanya untuk melumpuhkan lawan). Bisa  juga sinar ini diperkuat intensitasnya supaya sengatannya lebih dahsyat ketika mereka harus menembus suatu tembok/pintu yang sangat kokoh. Senjata phaser ini berfungsi seperti senapan dan pistol yang biasa digunakan polisi atau militer di dunia nyata. Tetapi ada satu perbedaan yang sangat mencolok. Senjata api dan pistol menggunakan peluru dan bubuk mesiu yang sangat berbahaya dan mengancam keselamatan (termasuk dalam kategori  lethal weapon atau senjata yang dapat menyebabkan kematian) siapa pun yang terkena tembakannya. Phaser merupakan senjata yang ‘ramah’ karena sama sekali tidak menyebabkan kematian (termasuk kategori  non lethal weapon). Inilah daya tarik utama Phaser!
Sejarah dunia mencatat berbagai Perang yang memakan jutaan bahkan milyaran korban jiwa. Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Teluk, dan berbagai perang saudara yang telah  menorehkan luka bagi banyak penduduk dunia. Banyak penduduk sipil  yang terkena tembakan secara tidak sengaja alias peluru nyasar. Saat situasi normal pun senjata api dan pistol masih banyak digunakan untuk sarana pengamanan dan sebagai bela diri terhadap tindak kejahatan yang mungkin terjadi. Walaupun tidak dimaksudkan untuk membunuh siapa pun, terkadang senjata-senjata itu  tetap memakan korban jiwa secara tidak disengaja. Misalnya saat terjadi kerusuhan antara mahasiswa-mahasiswa di jalanan. Terkadang peluru nyasar kembali menjadi penyebab kedukaan yang tak terduga itu. Semakin lama tindak kejahatan semakin meningkat sehingga semakin banyak orang merasa membutuhkan senjata pengamanan diri. Penggunaan senjata semakin tidak terkendali sehingga dunia semakin terancam keselamatannya.
Phaser yang bersifat non lethal ini mungkin bisa menjadi jawaban yang cukup melegakan. Teknologi senjata yang benar-benar persis seperti phaser yang digunakan dalam film Star Trek memang belum dapat dikembangkan, tetapi berbagai penelitian telah berhasil menemukan jalan menuju teknologi senjata non lethal. Senjata ini disebut Pain Beam.
Pain Beam menggunakan konsep yang mirip dengan phaser canggih kru pesawat Star Trek. Sesuai namanya, pain beam menembakkan sinar yang dapat menyebabkan orang yang terkena tembakannya merasa sakit, seperti disengat panas. Mengapa menggunakan senjata yang menyebabkan rasa sakit? Bukankah itu seperti penyiksaan? Apakah senjata non lethal yang menyebabkan rasa sakit lebih baik dari senjata yang langsung mematikan korban? Apakah ini manusiawi?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu  banyak dilontarkan saat konsep ini pertama kali dikemukakan. Ternyata kekhawatiran akan adanya ‘penyiksaan’ akibat rasa sakit yang ditimbulkan itu sama sekali tidak beralasan. Pain beam sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyiksa korban, dan memang tidak bisa digunakan untuk menyiksa. Sinar yang memancar dari senjata yang mengaplikasikan  Active-Denial Technology ini merupakan gelombang elektromagnetik yang mampu memanaskan (menyengat) permukaan kulit tubuh. Gelombang ini memiliki panjang gelombang yang lebih pendek dari gelombang mikro (microwave). 

            Gelombang elektromagnetik ini dipancarkan oleh sebuah transmitter (Gambar 1) dan kemudian merambat pada kecepatan cahaya (300.000 km per detik) sambil membawa energi yang hanya mampu menembus permukaan kulit sejauh 0,04 cm. Energi elektromagnetik ini hanya menyebabkan kita secara spontan merasakan sakit seperti disengat panas pada titik di permukaan kulit yang terkena pain beam. Energi ini tidak cukup untuk merusak atau melukai tubuh lebih jauh, apalagi sampai menembus organ tubuh. Pain beam ini tidak menyebabkan terjadinya luka yang berkepanjangan maupun kerusakan kulit/organ/tubuh dalam jangka panjang. Rasa sakit/panas yang kita rasakan sama dengan rasa sakit/panas yang kita rasakan jika kita menyentuh sebuah bohlam yang panas karena sudah menyala beberapa jam. Setelah beberapa menit sensasi panasnya pun hilang dengan sendirinya asalkan kita tidak terus memegang bohlam itu. Ini menunjukkan bahwa pain beam ini benar-benar bersifat non lethal dan tidak berbahaya. Para peneliti bahkan menyatakan bahwa panas akibat terkena sinar matahari yang terlalu lama (misalnya sewaktu berjemur di pantai) justru lebih berbahaya dari tembakan pain beam revolusioner ini.
Tetapi mengapa menggunakan rasa sakit? Pertimbangannya sangat sederhana! Rasa sakit sebenarnya merupakan sistem pertahanan tubuh yang paling utama. Saat kita menyentuh bohlam panas tadi kita otomatis menarik tangan kita menjauhi bohlam itu karena kita merasakan sengatan panasnya. Rasa sakit ini ‘memerintahkan’ kita untuk menghindari/menjauhi sumber yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Tanpa perlu berpikir lagi kita langsung menarik tangan untuk mengurangi/menghilangkan rasa sakit itu.  Inilah yang menjadi alasan utama digunakannya rasa sakit sebagai sasaran utama senjata jenis baru ini. Sewaktu kita terkena pain beam (misalnya secara tidak sengaja) kita otomatis berlari menjauhinya (secara refleks). Karena  kita langsung menjauhinya, kita pun langsung terbebas dari sengatan panasnya sehingga gelombang elektromagnetik ini tidak bisa menyengat kita lebih lama dan tidak dapat menyebabkan kerusakan permanen akibat kontak yang terlalu lama. Sewaktu kita merasakan sengatannya pun kita biasanya secara spontan langsung menutup/mengejapkan mata sehingga mata kita tidak akan tertembak pain beam secara tidak sengaja. 
Saat ada kerusuhan tidak perlu lagi ada peluru nyasar yang melukai manusia, atau bahkan meminta nyawa orang-orang tidak bersalah yang kebetulan sedang berada di lokasi yang berdekatan. Inilah bentuk senjata non lethal yang paling ideal dan mendekati senjata impian semacam phaser kru Enterprise. Inilah sebabnya dunia militer pun ikut-ikutan semangat mengembangkan teknologi ini. Humvee (High-Mobility Multi-purpose Wheeled Vehicle) seperti pada Gambar 1 merupakan salah satu impian dunia militer yang tidak ingin terus-menerus berurusan dengan pertumpahan darah. Pain beam dipasang pada humvee sehingga sistemnya akan disebut sebagai  Vehicle-Mounted Active-Denial System (VMADS). Nantinya pain beam dapat dipasang di berbagai kendaraan termasuk pesawat terbang, dan berbagai lokasi lainnya yang membutuhkan sistem pengamanan yang lebih aman dari senjata api dan pistol yang sudah sering memakan korban jiwa. (teknologi)

Desain Baru Periskop Kapal Selam


Apa yang menjadi ciri khas sebuah kapal selam? Satu hal yang pasti, kapal selam selalu ‘terkucilkan’ dari dunia luar. Tidak seperti kendaraan darat (mobil, kereta api) maupun alat transportasi udara (pesawat) dan air (kapal laut) lainnya, kapal selam selalu tak terlihat dan tenggelam di bawah permukaan air. Selain tidak terlihat, kru kapal selam pun tidak  dapat melihat dunia luar. Benar-benar terpencil dan sendiri! Terkadang sinar matahari pun tidak bisa mencapai lokasi kedalaman kapal selam. Gelap! Bagaimana caranya kapal selam bisa mencari jalan dan menentukan arah? Bagaimana kalau ada kapal selam lain di dekatnya? Tidak ada yang bisa terlihat di kegelapan itu!
Untung ada Fisika! Fisika menjadi ‘mata’ bagi kapal selam yang sedang berada jauh di bawah permukaan air. Bagaimana caranya? Dengan menggunakan konsep pemantulan gelombang suara yang  lebih dikenal sebagai teknologi Sonar (Sound Radar). RADAR sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari  Radio Detection and Ranging. Teknologi radar umumnya melibatkan gelombang mikro (microwave), tetapi saat digunakan  dalam air, kita dapat memanfaatkan gelombang suara biasa sehingga disebut Sound Radar (Sonar). Prinsip yang jadi kunci utama teknologi ini adalah pantulan gelombang dan sesuatu yang disebut Doppler Effect (Efek Doppler). Jika gelombang suara (dipancarkan oleh transmitter pada kecepatan v) menumbuk suatu permukaan, gelombang itu pasti langsung dipantulkan kembali. Pantulannya ini diterima oleh alat penerima (receiver). Jika receiver yang digunakan mendeteksi adanya pantulan gelombang yang dipancarkan tadi,  itu berarti ada suatu  benda yang menyebabkan terpantulnya gelombang tersebut. Jarak   benda tersebut dapat dihitung dengan mudah. Caranya? Hitung saja waktu  saat gelombang pertama kali dipancarkan sampai pantulannya dideteksi, karena kita tahu kecepatan gelombangnya maka kita dapat dengan mudah menghitung jarak antara  transmitter/receiver ke benda asing yang memantulkan gelombang tersebut. Doppler Effect atau Doppler Shift melibatkan terjadinya perubahan frekuensi gelombang asal dengan gelombang pantulannya. Gema/pantulan gelombang diukur perubahan frekuensinya (frekuensi pantulan pasti berbeda dengan frekuensi gelombang yang dipancarkan) sehingga bisa ditentukan jarak dan kecepatan benda. Dari kedua prinsip fisika sederhana inilah kapal selam akhirnya mampu ‘melihat’ keadaan sekitarnya yang gelap gulita itu.
Saat hendak naik ke permukaan, ada teknologi lain yang  juga bergantung pada fisika. Sebuah kapal selam yang ingin kembali ke permukaan laut harus selalu memastikan bahwa situasi sekelilingnya aman (tidak ada kapal laut atau benda-benda lain yang sedang berlayar di  dekatnya supaya tidak tertabrak oleh kapal selam saat tiba-tiba muncul di permukaan). Biasanya kapal selam menggunakan sebuah ‘jendela’ yang membantunya melihat keadaan sekeliling mereka sebelum mulai naik ke permukaan laut. Jendela yang juga berfungsi seperti mata pengintip yang bisa berputar 360° ini dikenal sebagai periskop. Berbeda dengan Sonar, periskop dapat memberikan data visual bagi kru kapal selam sehingga mereka dapat melihat dengan jelas apa saja yang ada di sekeliling mereka. Karena itulah periskop menjadi bagian yang sangat penting bagi sebuah kapal selam. Tugas utama periskop adalah untuk mengintip keadaan di permukaan laut saat kapal selam masih menyelam di bawah air. Sebuah periskop yang paling sederhana memiliki dua cermin, yang satu terletak di ujung atas (berfungsi sebagai mata pengintipnya), yang lainnya terletak di dasar periskop. Cahaya yang terkumpul di cermin atas kemudian diarahkan menuju cermin di dasar periskop sehingga nahkoda kapal dapat melihat  bayangan benda yang ada di depan periskop di atas permukaan laut. Seiring perkembangan teknologi, periskop kapal selam pun mengalami banyak penyempurnaan. Panjang periskop biasanya bisa mencapai 18 meter sehingga cermin tidak digunakan untuk mengumpulkan cahaya dari permukaan laut. Sebagai gantinya digunakan dua prisma (disusun paralel), satu di atas, dan satu di dasar periskop. Cahaya yang sampai pada prisma di dasar periskop kemudian diteruskan ke dua buah lensa di tube sekunder. Dengan bantuan prisma, bayangan yang didapatkan bisa terlihat jelas walaupun harus melalui jarak 18 meter (panjang periskop). Saat kapal sedang menyelam pada kedalaman tersebut posisinya dikenal sebagai kedalaman periskop (periscope depth). Di bawah kedalaman itu periskop tidak lagi digunakan (yang digunakan adalah sonar). Karena begitu panjangnya periskop kapal selam, biasanya periskop memakan tempat sampai ke dasar kapal (Gambar 1-A). Periskop terletak di periscope well yang menjulur mulai dari dasar sampai ke atas di bagian sail. Ukuran periskop yang begitu panjang ini memaksa desain kapal untuk selalu menempatkan ruang kendali di bagian atas yang sempit. Karena kurang praktisnya desain ini, kini fisika pun menawarkan desain baru periskop yang lebih canggih dan praktis. Periskop generasi baru ini dikenal dengan nama Photonic Mast.

Photonic mast tidak menggunakan prisma dan lensa seperti di periskop biasa. Komponen-komponennya merupakan komponen elektronik canggih yang berfungsi sebagai unit sensor elektro-optik yang bisa menyediakan tampilan visual, sarana navigasi kapal, serta berbagai fungsi  komunikasi lainnya. Sensor multifungsi ini terletak pada bagian yang dapat berotasi (rotating head). Photonic mast dilengkapi dengan tiga buah kamera canggih, yang meliputi kamera yang bisa menampilkan warna (color camera), kamera hitam-putih yang memiliki resolusi tinggi, serta kamera infra merah. Selain ketiga kamera ini, terdapat pula sebuah kamera khusus yang digunakan pada saat-saat khusus (mission critical control camera). Kamera khusus ini terletak di bagian yang khusus pula (bebas tekanan dan tahan guncangan). Untuk melengkapi sistem kamera ini terdapat pula eyesafe laser range finder yang berfungsi untuk menyediakan informasi akurat mengenai target yang sedang dipantau, serta untuk membantu proses navigasi. Semua gambar dan data visual yang berhasil dikumpulkan oleh photonic mast yang canggih ini kemudian dikirimkan ke ruang kendali dengan menggunakan serat optik. Masing-masing kapal selam masa depan ini akan memiliki dua photonic mast yang mampu menyediakan informasi yang benar-benar akurat dan lengkap. Kedua photonic mast ini dapat dikendalikan dengan bantuan joystick yang tersedia di dua stasiun dalam kapal. Masing-masing stasiun memiliki dua layar (layar datar) yang digunakan untuk menampilkan data visual yang sudah didapatkan tadi. Gambar-gambar yang berhasil didapatkan itu pun dapat langsung direkam sehingga bisa menjadi dokumentasi yang berharga.
 Pada periskop biasa, hanya satu orang yang bisa melihat secara langsung keadaan di permukaan laut (melalui eyepiece). Jika kru lain ingin melihat pula kondisi permukaan, maka mereka harus bergantian mengintip eyepiece periskop. Ini sangat merepotkan dan tidak praktis. Kedua layar tampilan yang tersedia pada desain kapal selam yang menggunakan photonic mast memberikan solusi yang memuaskan. Dengan adanya kedua layar  tersebut semua kru yang berada di stasiun dapat melihat secara detil kondisi permukaan laut.
Kelebihan lain desain baru ini adalah ukurannya yang sangat kecil. Periscope well yang menjadi ‘markas’ photonic mast tidak lagi menjulur dari dasar sampai sail, justru periscope well desain baru ini hanya terletak di bagian sail saja sehingga ruang kendali dapat diposisikan di bagian yang lebih luas dan tidak sempit. Dengan photonic mast, kapal selam tidak lagi ‘buta’ dan terkucilkan dari dunia. Faktor keselamatan pun  dapat ditingkatkan karena canggihnya teknologi yang melingkupi kapal selam masa depan ini. (teknologi)

Dahsyatnya Elektromagnetik


Begitu dahsyatnya sehingga para ilmuwan di NASA (National Aeronautics and Space Admistration) mulai berpikir untuk memanfaatkannya sebagai tenaga yang bisa ‘melemparkan’ pesawat luar angkasa ke luar atmosfer bumi! Kenapa sampai muncul ide ini? Bukankah mesin roket yang biasanya digunakan untuk mengirim pesawat-pesawat ke luar bumi sudah cukup berhasil?
Sebenarnya semua mesin roket yang sudah digunakan maupun yang sedang dikembangkan saat ini tetap membutuhkan bahan khusus sebagai pendorongnya. Bahan-bahan propellant ini bisa berupa bahan kimia seperti yang sudah banyak digunakan, bisa juga berupa hasil reaksi fusi nuklir yang teknologinya dikembangkan di awal abad 21 ini. Ada lagi berbagai teknologi inovatif seperti light propulsion dan antimater propulsion. Penggunaan propellant ini sebenarnya sangat membatasi kecepatan dan jarak maksimum yang dapat dicapai pesawat. Karena itulah muncul ide untuk mengirimkan pesawat luar angkasa menggunakan teknologi yang sama sekali tidak melibatkan  propellant. Sistem apa yang bisa ‘melemparkan’ pesawat yang begitu besar dan berat ke luar angkasa tanpa menggunakan  propellant sama sekali? Hanya Elektromagnetika yang bisa menjawabnya!
Elektromagnetika merupakan penggabungan listrik dan magnet. Sewaktu kita mengalirkan listrik pada sebuah kawat kita bisa menciptakan medan magnet. Listrik dan magnet benar-benar tidak terpisahkan kecuali dalam superkonduktor tipe I yang menunjukkan Efek Meissner (bahan superkonduktor dapat meniadakan medan magnet sampai pada batas tertentu). Ini bisa dibuktikan dengan cara meletakkan kompas di dekat kawat tersebut. Jarum penunjuk pada kompas akan bergerak karena kompas mendeteksi adanya medan magnet. Elektromagnetika sudah banyak dimanfaatkan dalam membuat mesin motor, kaset, video,  speaker (alat pengeras suara), dan sebagainya. Sekarang giliran proyek luar angkasa yang ingin memanfaatkan kedahsyatannya!

David Goodwin dari  Office of High Energy and Nuclear Physics di Amerika adalah orang yang mengusulkan ide electromagnetic propulsion ini. Saat sebuah elektromagnet didinginkan sampai suhu sangat rendah terjadi sesuatu yang ‘tidak biasa’. Jika kita mengalirkan listrik pada magnet yang superzdingin tersebut kita bisa mengamati terjadinya getaran (vibration) selama beberapa nanodetik (1 nanodetik = 10-9 detik) sebelum magnet itu menjadi superkonduktor. Menurut Goodwin, walaupun getaran ini terjadi hanya selama beberapa nanodetik saja, kita tetap dapat memanfaatkan keadaan  unsteady state (belum tercapainya keadaan tunak) ini. Jika getaran-getaran yang tercipta ini dapat diarahkan ke satu arah yang sama maka kita bisa mendapatkan kekuatan yang cukup untuk ‘melempar’ sebuah pesawat ruang angkasa. Kekuatan ini tidak hanya cukup untuk ‘melempar’ secara asal-asalan, tetapi justru pesawat ruang  angkasa bisa mencapai jarak maksimum yang lebih jauh dengan kecepatan yang lebih tinggi dari segala macam pesawat yang menggunakan propellant.
Untuk menerangkan idenya, Goodwin menggunakan kumparan kawat (solenoid) yang disusun dari kawat magnet superkonduktor yang dililitkan pada batang logam berbentuk silinder (Gambar 1). Kawat magnetik yang digunakan adalah logam paduan niobium dan timah. Elektromagnet ini menjadi bahan superkonduktor setelah didinginkan menggunakan helium cair sampai temperatur 4 K (-269oC). Pelat logam di bawah solenoida berfungsi untuk memperkuat getaran yang tercipta. Supaya terjadi getaran dengan frekuensi 400.000 Hz, perlu diciptakan kondisi asimetri pada medan magnet. Pelat logam (bisa terbuat dari bahan logam aluminium atau tembaga) yang sudah diberi tegangan ini diletakkan secara terpisah (isolated) dari sistem solenoida supaya tercipta kondisi asimetri. Selama beberapa mikrodetik sebelum magnet mulai berosilasi ke arah yang berlawanan, listrik yang ada di pelat logam harus dihilangkan.
Tantangan utama yang masih harus diatasi adalah teknik untuk mengarahkan getaran-getaran yang terbentuk pada kondisi  unsteady ini supaya semuanya bergerak pada satu arah yang  sama. Untuk itu kita membutuhkan alat semacam saklar (solid-state switch) yang bisa menyalakan dan mematikan listrik 400.000 kali per detik (yaitu sesuai dengan frekuensi getaran). Solid-state switch ini pada dasarnya bertugas untuk mengambil energi dari keadaan tunak dan mengubahnya menjadi pulsa listrik kecepatan tinggi (dan mengandung energi tinggi) sampai 400.000 kali per detiknya.
Energi yang digunakan untuk sistem  elektromagnetik ini berasal dari reaktor nuklir (300 kW) milik NASA. Reaktor ini menghasilkan energi panas melalui reaksi fisi nuklir. Reaksi fisi nuklir ini melibatkan proses pembelahan atom yang disertai radiasi sinar gamma dan pelepasan kalor (energi panas) dalam jumlah sangat besar. Reaktor nuklir  yang menggunakan ¾ kg uranium (U-235) bisa menghasilkan kalor yang jumlahnya sama dengan kalor yang dihasilkan oleh pembakaran 1 juta galon bensin (3,8 juta liter). Energi panas yang dihasilkan reaktor nuklir ini kemudian dikonversi menjadi energi listrik yang bisa digunakan untuk sistem  electromagnetic propulsion ini. Ketika digunakan dalam pesawat luar angkasa, ¾ kg uranium sama sekali tidak memakan tempat karena hanya membutuhkan ruangan sebesar bola baseball. Dengan massa dan kebutuhan ruang yang jauh lebih kecil dibandingkan mesin  roket yang biasanya digunakan untuk mengirim pesawat ke luar angkasa, pesawat yang menggunakan sistem elektromagnetik ini dapat mencapai kecepatan maksimal yang jauh lebih tinggi sehingga bisa mencapai lokasi yang lebih jauh pula. Menurut Goodwin pesawat dengan teknologi elektromagnetik ini dapat mencapai titik  heliopause yang merupakan tempat pertemuan angin yang  berasal dari matahari (solar wind) dengan angin yang berasal dari bintang di luar sistem tatasurya kita (interstellar solar wind). Heliopause terletak pada jarak sekitar 200 AU (Astronomical Unit) dari matahari. 1 AU merupakan jarak rata-rata bumi dari matahari yaitu sekitar 1,5.108 km. Planet terjauh dalam sistem tatasurya kita saja hanya berjarak 39,53 AU dari matahari. Semua pesawat luar angkasa yang menggunakan  propellant tidak bisa mencapai jarak sejauh itu!
Tentu saja pesawat yang dipersenjatai elektromagnetik yang dahsyat ini masih sangat jauh dari sistem ideal  yang kita inginkan. Karena walaupun pesawatnya bisa mencapai kecepatan  sangat tinggi, kecepatan itu masih sangat kecil dibandingkan kecepatan cahaya (300.000 km per detik). Kecepatan maksimum yang bisa dicapai sistem ini masih di bawah 1% kecepatan cahaya. Padahal bintang yang terdekat dengan sistem tatasurya kita berada pada jarak lebih dari 4 tahun cahaya (1 tahun cahaya = 300.000 km/detik x 60 detik/menit x 60 menit/jam x 24 jam/hari x 365 hari/tahun = 9,4608.1012 km). Perjalanan terjauh yang pernah ditempuh manusia adalah 400.000 km (yaitu perjalanan ke bulan). Jika kita ingin mengirim pesawat tanpa awak pun kita masih membutuhkan ratusan tahun sebelum pesawat tersebut bisa mencapai bintang terdekat. Itu pun karena pesawatnya menggunakan teknologi elektromagnetik! Dengan pesawat yang menggunakan  propellant bahan kimia kita baru  bisa mencapai bintang terdekat dalam waktu puluhan ribu tahun.  Jika kita ingin mencapai bintang terdekat dalam waktu lebih cepat seperti dalam film Star Trek kita membutuhkan teknologi yang bisa melampaui kecepatan cahaya. Selama teknologi itu masih belum bisa dikembangkan, kita bisa memanfaatkan dulu teknologi elektromagnetik yang ternyata memberikan alternatif yang cukup menjanjikan walaupun belum bisa mewujudkan impian  kita untuk menjelajahi jagad raya.
(teknologi)