Masih ingat film fiksi ilmiah Star Trek yang sangat populer itu? Banyak adegan film itu yang memamerkan teknologi canggih yang membuat kita iri. Kebanyakan teknologi yang ditampilkan dalam film itu merupakan hasil fantasi sang pembuat film. Tetapi imaginasi hebatnya itu ternyata sudah banyak menggoda para ilmuwan untuk merealisasikan teknologi fiksi itu menjadi teknologi yang benar-benar bisa dikembangkan di dunia nyata. Salah satu contohnya adalah penelitian mengenai teleportasi yang semakin heboh perkembangannya. Teknologi holodeck juga sudah mulai berhasil dikembangkan di dunia nyata ini sehingga kita semakin sulit membedakan dunia nyata dengan dunia maya. Dari sekian banyak teknologi Star Trek yang begitu menarik, ada satu teknologi canggihnya yang masih menggelitik para ilmuwan kita. Bahkan bukan saja ilmuwan dan peneliti yang tergoda untuk mengembangkannya, dunia militer pun ikut-ikutan jatuh hati pada teknologi yang satu ini. Teknologi yang mana? Phaser! Masih ingat apa itu Phaser?
Kru pesawat Enterprise dalam film Star Trek selalu membawa pengamanan diri saat turun ke permukaan sebuah planet tak dikenal. Sebentuk senjata yang mungil tampak seperti remote control kecil itu dapat disetel untuk memancarkan sinar yang bisa diatur intensitasnya. Jika hanya untuk mempertahankan diri, sinarnya disetel pada intensitas yang hanya bisa menyengat korban sehingga pingsan selama beberapa waktu dan tidak bisa melawan lagi (hanya untuk melumpuhkan lawan). Bisa juga sinar ini diperkuat intensitasnya supaya sengatannya lebih dahsyat ketika mereka harus menembus suatu tembok/pintu yang sangat kokoh. Senjata phaser ini berfungsi seperti senapan dan pistol yang biasa digunakan polisi atau militer di dunia nyata. Tetapi ada satu perbedaan yang sangat mencolok. Senjata api dan pistol menggunakan peluru dan bubuk mesiu yang sangat berbahaya dan mengancam keselamatan (termasuk dalam kategori lethal weapon atau senjata yang dapat menyebabkan kematian) siapa pun yang terkena tembakannya. Phaser merupakan senjata yang ‘ramah’ karena sama sekali tidak menyebabkan kematian (termasuk kategori non lethal weapon). Inilah daya tarik utama Phaser!
Sejarah dunia mencatat berbagai Perang yang memakan jutaan bahkan milyaran korban jiwa. Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Teluk, dan berbagai perang saudara yang telah menorehkan luka bagi banyak penduduk dunia. Banyak penduduk sipil yang terkena tembakan secara tidak sengaja alias peluru nyasar. Saat situasi normal pun senjata api dan pistol masih banyak digunakan untuk sarana pengamanan dan sebagai bela diri terhadap tindak kejahatan yang mungkin terjadi. Walaupun tidak dimaksudkan untuk membunuh siapa pun, terkadang senjata-senjata itu tetap memakan korban jiwa secara tidak disengaja. Misalnya saat terjadi kerusuhan antara mahasiswa-mahasiswa di jalanan. Terkadang peluru nyasar kembali menjadi penyebab kedukaan yang tak terduga itu. Semakin lama tindak kejahatan semakin meningkat sehingga semakin banyak orang merasa membutuhkan senjata pengamanan diri. Penggunaan senjata semakin tidak terkendali sehingga dunia semakin terancam keselamatannya.
Phaser yang bersifat non lethal ini mungkin bisa menjadi jawaban yang cukup melegakan. Teknologi senjata yang benar-benar persis seperti phaser yang digunakan dalam film Star Trek memang belum dapat dikembangkan, tetapi berbagai penelitian telah berhasil menemukan jalan menuju teknologi senjata non lethal. Senjata ini disebut Pain Beam.
Pain Beam menggunakan konsep yang mirip dengan phaser canggih kru pesawat Star Trek. Sesuai namanya, pain beam menembakkan sinar yang dapat menyebabkan orang yang terkena tembakannya merasa sakit, seperti disengat panas. Mengapa menggunakan senjata yang menyebabkan rasa sakit? Bukankah itu seperti penyiksaan? Apakah senjata non lethal yang menyebabkan rasa sakit lebih baik dari senjata yang langsung mematikan korban? Apakah ini manusiawi?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu banyak dilontarkan saat konsep ini pertama kali dikemukakan. Ternyata kekhawatiran akan adanya ‘penyiksaan’ akibat rasa sakit yang ditimbulkan itu sama sekali tidak beralasan. Pain beam sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyiksa korban, dan memang tidak bisa digunakan untuk menyiksa. Sinar yang memancar dari senjata yang mengaplikasikan Active-Denial Technology ini merupakan gelombang elektromagnetik yang mampu memanaskan (menyengat) permukaan kulit tubuh. Gelombang ini memiliki panjang gelombang yang lebih pendek dari gelombang mikro (microwave).
Gelombang elektromagnetik ini dipancarkan oleh sebuah transmitter (Gambar 1) dan kemudian merambat pada kecepatan cahaya (300.000 km per detik) sambil membawa energi yang hanya mampu menembus permukaan kulit sejauh 0,04 cm. Energi elektromagnetik ini hanya menyebabkan kita secara spontan merasakan sakit seperti disengat panas pada titik di permukaan kulit yang terkena pain beam. Energi ini tidak cukup untuk merusak atau melukai tubuh lebih jauh, apalagi sampai menembus organ tubuh. Pain beam ini tidak menyebabkan terjadinya luka yang berkepanjangan maupun kerusakan kulit/organ/tubuh dalam jangka panjang. Rasa sakit/panas yang kita rasakan sama dengan rasa sakit/panas yang kita rasakan jika kita menyentuh sebuah bohlam yang panas karena sudah menyala beberapa jam. Setelah beberapa menit sensasi panasnya pun hilang dengan sendirinya asalkan kita tidak terus memegang bohlam itu. Ini menunjukkan bahwa pain beam ini benar-benar bersifat non lethal dan tidak berbahaya. Para peneliti bahkan menyatakan bahwa panas akibat terkena sinar matahari yang terlalu lama (misalnya sewaktu berjemur di pantai) justru lebih berbahaya dari tembakan pain beam revolusioner ini.
Tetapi mengapa menggunakan rasa sakit? Pertimbangannya sangat sederhana! Rasa sakit sebenarnya merupakan sistem pertahanan tubuh yang paling utama. Saat kita menyentuh bohlam panas tadi kita otomatis menarik tangan kita menjauhi bohlam itu karena kita merasakan sengatan panasnya. Rasa sakit ini ‘memerintahkan’ kita untuk menghindari/menjauhi sumber yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Tanpa perlu berpikir lagi kita langsung menarik tangan untuk mengurangi/menghilangkan rasa sakit itu. Inilah yang menjadi alasan utama digunakannya rasa sakit sebagai sasaran utama senjata jenis baru ini. Sewaktu kita terkena pain beam (misalnya secara tidak sengaja) kita otomatis berlari menjauhinya (secara refleks). Karena kita langsung menjauhinya, kita pun langsung terbebas dari sengatan panasnya sehingga gelombang elektromagnetik ini tidak bisa menyengat kita lebih lama dan tidak dapat menyebabkan kerusakan permanen akibat kontak yang terlalu lama. Sewaktu kita merasakan sengatannya pun kita biasanya secara spontan langsung menutup/mengejapkan mata sehingga mata kita tidak akan tertembak pain beam secara tidak sengaja.
Saat ada kerusuhan tidak perlu lagi ada peluru nyasar yang melukai manusia, atau bahkan meminta nyawa orang-orang tidak bersalah yang kebetulan sedang berada di lokasi yang berdekatan. Inilah bentuk senjata non lethal yang paling ideal dan mendekati senjata impian semacam phaser kru Enterprise. Inilah sebabnya dunia militer pun ikut-ikutan semangat mengembangkan teknologi ini. Humvee (High-Mobility Multi-purpose Wheeled Vehicle) seperti pada Gambar 1 merupakan salah satu impian dunia militer yang tidak ingin terus-menerus berurusan dengan pertumpahan darah. Pain beam dipasang pada humvee sehingga sistemnya akan disebut sebagai Vehicle-Mounted Active-Denial System (VMADS). Nantinya pain beam dapat dipasang di berbagai kendaraan termasuk pesawat terbang, dan berbagai lokasi lainnya yang membutuhkan sistem pengamanan yang lebih aman dari senjata api dan pistol yang sudah sering memakan korban jiwa. (teknologi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar